Tuesday, October 15, 2013

AraTAPE 2

Teman belakang bangkuku, Geni, menghampiriku sambil tersenyum dibuat-buat--seperti biasa.

"Pagi Tapeee..." katanya sambil menepuk bahuku.

"Pagi Gen," balasku dan membalas senyumnya. Desi tersenyum saat Geni menyapa Desi.

"Eh, Pe, pinjem pensil dong," ujar Geni dan kembali memunculkan senyumnya yang dibuat-buat.

"Hah? Pensil? Buat apa?" potong Desi cepat. Geni memelototkan matanya ke arah Desi.

"Ya untuk menulis!" seru Geni. "Gimana? Kamu kan penjual pensil... jadi..."

Desi kembali memotong perkataan Geni dengan cepat. "Apa yang kamu maksud dengan kata 'penjual pensil'? Hanya karena Ara tidak sekaya kamu, kamu mengejeknya begitu? Dasar! Tidak tahu diuntung! Ara, jangan pinjamkan pensil ke dia!"

"Eh, Des, udah udah. Jangan kayak anak kecil gitu.. aku ngerti kok maksud Geni," kataku menenangkan Desi. Desi hanya mengangguk. Geni kembali tersenyum dan menatapku.

"Jadi? Mana pensilnya?" tanya Geni tidak sabar.

Aku memeriksa tempat pensilku. Tapi hanya ada satu pensil 2B dan satu penghapus.

"Ah, maaf ya Gen. Aku cuma bawa satu pensil dan aku pasti butuh pensil. Kenapa kamu gak pinjem ke Hana aja? Dia kan duduk di samping kamu, dan biasanya dia juga bawa banyak pensil. Ya kan?" ucapku. "Jangan susah-susah pinjem ke aku kalo ternyata orang yang duduk di samping kamu itu punya pensil."

"Hei," Desi menyela. "Hanya masalah pensil saja! Jangan memasang muka ingin menangis begitu dong, Gen! Lo lebih mirip anak kecil dibanding gue!"

Ya, itulah Desi. Kalau dia sudah mulai kesal dengan seseorang, dia pasti langsung berkata "gue" "elo".

"Desi, sabaaar," kataku sambil mengelus bahu Desi.

Geni tidak berkata-kata tapi dia masih memasang muka ingin menangis. Kalau ada keinginannya yang tidak dituruti, dia pasti akan menangis.

"Udah, lo pergi sana! Jangan ganggu kita! Kita mau belajar buat ulangan nanti!" seru Desi sambil mengusir Geni. Dengan muka cemberut Geni menjauh dari aku dan Desi dan duduk di bangkunya.

"Des! Jangan begitu sama Geni!" kataku pada Desi sambil berbisik.

"Ah, anak kayak gitu mah jangan dikasihanin! Ntar kamu jadi terpengaruh sama dia! Trus ntar kamu jadi gak sahabatan lagi sama aku," jawab Desi. Aku tersenyum kecil.

"Kalo gak sahabatan sama kamu lagi sih, kayaknya gak mungkin," ujarku.

"Hehe," balas Desi sambil nyengir. "Ya udah yuk, Ar, lanjutin belajar."

Kami pun kembali belajar dan berhenti saat terdengar bel berbunyi tanda pelajaran akan dimulai.

*

Selesai ulangan, aku dan Desi keluar dari kelas dan pergi menuju kantin.

"Ah, udahlah! Aku nyerah sama soal tadi! Susah banget Ra!" keluh Desi padaku saat perjalanan menuju kantin.

"Bener! Aku juga nganggep susah soal tadi," kataku setuju dengan perkataan Desi.

Sampai di kantin, kami memesan makanan. Setelah itu, kami mencari tempat yang kosong. Tapi sayangnya, semua tempat di kantin sudah penuh, tumben sekali. Kami bingung mau duduk di mana. Tapi, tiba-tiba...

"Woy! Lo berdua!"

Aku dan Desi mengikuti arah suara tadi. Yah, mungkin suara itu tidak menuju ke kita. Tapi, ternyata orang yang bersuara tadi memanggil-manggil kami dan melambaikan tangannya ke arah kami. Dia Farrel, teman seangkatan kami.

"Desi, Ara!"

Farrel memanggilku dengan sebutan "Ara". Kenapa? Aku pernah bilang kan? Hanya kelasku dan sebagian anak-anak yang sahabatnya itu ada di kelasku yang memanggilku "Tape". Jadi, aku masih bisa bersabar banyak.

"Lo berdua, sini!"

Aku dan Desi menghampiri Farrel yang memanggil kami. Farrel sedang makan bersama temannya (yang senangnya juga beda kelas dan tidak memanggilku tape), Bima.

"Apa Rel?" tanya Desi cepat.

"Kalian makan di sini aja. Ini ada dua kursi kosong," kata Farrel sambil menunjuk dua kursi yang nganggur. Aku dan Desi tersenyum dan duduk di dua kursi itu yang menghadap ke Farrel dan Bima.

Saat kami sudah duduk, Desi berkata, "tumben banget kalian baik."

"Heh, jangan anggep kita berdua sebagai temen sekelas lo dong Des. Anak kelas lain lebih baik dibanding anak kelas kalian," kata Bima.

"Iya deh, iya deh," balas Desi. Lalu kami berempat menikmati makanan kami lagi.

Lalu, Farrel memulai topik pembicaraan. "Eh, Ara, lo di kelas dipanggil Tape ya?"

Dengan memasang muka kecut, aku menjawab, "iya."

"Wah! Keren!" seru Bima tiba-tiba. Aku dapat melihat Desi memelototkan matanya kepada Bima.

"Keren? Keren apanya bu!" balas Desi. Bima memasang muka sebal.

"Heh! Gue bukan ibu-ibu!" kata Bima. "Gue anak muda!"

"Iya, iya, tau," jawab Desi. "Sori, keceplosan."

"Keceplosan, keceplosan. Alasan aja lo ah," ucap Bima.

"Lo mau gue sembur lagi apa nggak? Kalo nggak, diem boleh kan?" ujar Desi dengan bersikap semanis mungkin. Desi... kamu ketularan siapa? Kata-katamu beda banget.

"Iya nona," jawab Bima dan menyeruput esnya.

"Aduh, kalian berdua ini. Aku nanya ke Ara, kalian malah nimbrung," kata Farrel. Bima dan Desi nyengir.

"Hehe, piiis," ujar mereka. Lalu, Farrel kembali menatapku.

"Kenapa dipanggil Tape? Emang nama panjang lo apa sih?" tanya Farrel. Sebelum aku sempat menjawab, Bima kembali menyela.

"Ya, tentu saja ARAAAAAAAAAAAA," jawab Bima.

"Gue gak nanya ke elo!" seru Farrel lalu beralih padaku.

"Nama lengkap maksudnya? Aratape Harifin," jawabku mencoba untuk santai.

"Pantes... nama kamu ada Tapenya... baru tau gue," kata Farrel. Bima mengangguk setuju.

Bel berbunyi. Aku dan Desi berpisah dengan Farrel dan Bima dan kembali ke kelas masing-masing. Pelajaran berikutnya adalah pelajaran yang paling kubenci, PKn!

(bersambung)

Chapter 5 (Toizu)

Perjalanan dari rumah Tasha sampai sekolah baruku itu hanya menempuh sekitar 10 menit. Cukup dekat rupanya. Lalu Tasha berpamitan kepada ibunya dan mengajakku turun. Aku mengucapkan terima kasih pada  ibu Tasha dan iku turun.

Sekolah Tasha bagus sekali! Ini pertama kalinya aku melihat sekolah, dan sekolah yang sangat bagus. Yah, mungkin karena ini pertama kalinya aku melihat sekolah, aku beranggapan bahwa sekolah ini memiliki gedung yang bagus. Entahlah kalau orang lain. Gedung itu bertingkat tiga, dan berwarna hijau terang. Lalu ada sebuah gerbang besar yang mengarah ke dalam daerah gedung itu. Tasha mengajakku untuk masuk ke dalam gerbang itu.

"Nah, Fia, ini sekolahku. Aku sekarang ada di kelas 9-4. Lantai satu, itu untuk daerah kelas 7. Lantai dua untuk daerah kelas 8. Sedangkan lantai tiga untuk kelas 9 atau tempatku belajar," jelas Tasha. "Ah! Aku aneh banget! Aku ajak kamu sekolah, tapi aku gak tahu umur kamu."

Umur? tanyaku dalam hati. Selama ini, aku benar-benar tidak tahu mengenai umur. Aku tahu apa makna dari umur. Tapi, aku tidak tahu aku sudah umur berapa.

"Kau kan tersasar, ya? Kira-kira, kau masih ingat tidak umurmu?" tanya Tasha, "atau kelas deh! Kau ingat tidak dulu kau kelas berapa?"

Apalagi kelas. Aku saja di Toizu tidak sekolah.

"Hmm.. mungkin aku benar-benar sudah lupa," jawabku bohong.

"Wah... bagaimana ini? Masa kau harus di luar menunggu? Itu kan tidak mungkin..." desah Tasha sambil berpikir. "Ah! Bagaimana kalau kau ikut ke kelasku saja?"

"Ke kelas Tasha?" ulangku. "Memangnya, aku harus ngapain nanti?"

"Ya tentu saja belajar!" seru Tasha. "Sekolah kan memang tempat untuk belajar, Fia.... kau pasti ingat itu."

'Tempat untuk belajar'? Sekolah itu tempat untuk belajar? Jadi.. untuk apa aku membawa buku? Dan untuk apa aku bermimpi bahwa sekolah adalah tempat untuk bersantai-santai? Aku ini orang aneh.

"O, oh.... iya, tentu saja kau ingat," jawabku sambil tersenyum kecil. Tasha tersenyum juga dan mengajakku untuk ke kelasnya.

"Baiklah, tak apa. Di kelas aku kan, ada kursi kosong tepat di sampingku bekas Tina yang pindah sekolah itu. Kau bisa duduk di sampingku, Fia," kata Tasha sambil tersenyum senang. Aku nyengir.

Sesampainya di kelas Tasha atau di kelas 9-4, aku menatap ke semua yang ada di kelas itu. Ada anak-anak yang sedang mengobrol, ada kertas besar dengan diberi bingkai yang menempel ke dinding, ada kursi dan meja, ada rak, dan masih banyak lagi.

"Hai, Tasha!"

Aku mendengar sekumpulan anak perempuan yang sedang mengobrol memanggil Tasha. Aku menoleh pada Tasha yang melambaikan tangannya dan masuk ke kelasnya. Aku masih berdiri di ambang pintu. Untuk masuk, aku merasa canggung. Karena, kelas ini belum resmi menjadi kelasku, mungkin saja.

"Hai, Nea, Tia, Ananda, Heni!" sapa Tasha kepada anak perempuan yang tadi menyapanya. Lalu, anak perempuan itu menoleh ke pintu dan menatap aneh padaku.

"Sha, siapa dia? Tadi aku lihat dia bersamamu," tanya salah satu anak perempuan sambil menunjukku. Tasha mengikuti arah yang dimaksud anak perempuan itu dan tersenyum saat melihatku.

"Ah, ya." Tasha berlari menghampiriku dan menarikku masuk. Aku hanya bisa mengikutinya. Selama aku bersama Tasha, aku akan aman.

"Nah, semuanya." Tasha membawaku ke hadapan keempat anak perempuan itu. "Kenalkan, ini Lifia. Dia temanku."

"Hai.." sapa mereka sambil menjabat tanganku. Aku membalasnya dengan muka polos. Lalu, keempat anak perempuan itu mengenalkan dirinya. Aku baru tahu bahwa mereka berempat adalah sahabat Tasha.

(to be continued)

Friday, October 11, 2013

AraTAPE 1

Aku mulai bikin cerita lagi~ insya allah bisa selesai :) sekarang, mau bikin cerita~ (entah bakal bersambung lagi atau tidak) dan aku terinspirasi dari kata 'tape'. Kalo tape, waktu itu entah kenapa inget sama kak salsa dari dcfam waf, terus keinget tape dan ada inspirasi untuk bikin cerita. nah, enjoy~

*

Hai, namaku Aratape Harifin. Panggilanku Ara. Umurku 13 tahun. Kalian ada yang bingung, tidak, dengan nama lengkapku? Waktu kecil aku tidak terlalu memikirkan nama itu. Tapi semakin lama nama itu menjadi menggangguku. Ya, nama AraTAPE itu. Dulu, aku tidak terlau mengerti tentang tape. Jadi aku biasa-biasa saja. Tapi lama-kelamaan nama itu menyebalkan. Coba saja, nama ARA sudah terdengar bagus, lalu dibelakangnya ditambah TAPE. Apa tidak terlalu aneh?

Tape. Kalian langsung terpikir apa? Jujur saja, aku langsung terpikir tentang tape, makanan khas bandung itu, lalu tape recorder, dan mungkin masih banyak lagi. Sebal tidak? mungkin untuk kalian yang belum pernah merasakan memiliki nama seperti itu, biasa saja. Sedangkan aku, terganggu sekali.

Di sekolah, teman-teman selalu memanggilku 'tape'. Tapi bukan tape recorder yang menurutku lebih mending, melainkan dengan 'tape' makanan itu. Ada yang mengejekku 'tape hitam', 'tape jagung', 'tape merah', dan masih banyak lagi. Aku sudah sangat sabar menghadapi semua itu setiap hari. Dan yang selalu menghiburku di sekolah setiap saat adalah Desi, sahabatku.

Baik, mungkin perkenalan sudah cukup. Mari kita mulai ceritanya.

*

Pagi itu, hujan turun dengan sangat deras. Aku berjalan kaki dengan membawa payung dan merasakan hawa dingin di sekitarku. Walaupun aku sudah berjaket tebal, tetap saja terasa.

"Eh, Pe!"

Aku merasa seseorang memanggilku. Aku menoleh ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke depan. Ah, mungkin 'Pe' itu bukan Tape yang biasa teman-temanku sebut kepadaku. 'Pe' itu bisa saja berarti lain. Berarti, kali ini aku ge-er ya..

Aku melanjutkan langkahku tanpa memedulikan panggilan tadi. Lalu, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan sangat keras. Aku menjerit.

"Nyante," katanya santai padaku.

Aku menoleh ke kanan. Dia adalah teman depan bangkuku, namanya Kenny.

"Nepuk keras gitu, gimana gak kaget?" seruku kesal. Kenny hanya tertawa kecil dan merangkulku. Wah, aku tahu maksudnya.

"Tape, pinjem catetan Bahasa kamu dong," katanya dengan muka memohon. Inilah penyakit teman sekelasku. Kalau mereka menginginkan sesuatu dariku, mereka akan merangkulku dan berkata permintaannya dengan muka memohon.

"Eeeh, ogah ya mbak. Males banget deh," balasku sambil melepas rangkulannya. "Salah sendiri kenapa gak nyatet kemaren."

Yah, bisa dibilang, aku anak paling rajin di kelas, atau bisa dibilang di angkatan.

"Kalo gak ngasih, ntar dimakan tape yang lain loh."

Aku mengangkat satu alis. Ini berusaha untuk menakut-nakuti aku? Dan mengancam aku?

"Gak ngaruh. Aku gabakal takut. Lagian kamu pikir aku tape makanan gitu mbak? Trus kalo aku gak ngasih catetan ke kamu, aku bakal dimakan makanan tape yang lain, gitu? Serem apanya..."

Kenny hanya cengengesan sendiri. Lalu aku berkata lagi, "udah ah. Kalo ngerayu lagi, seumur hidup gabakal kukasih catetan pelajaran."

"Eh, iya iya," jawab Kenny lalu mingkem.

Sebenarnya, aku gabakal mau ngasih catatan lagi ke Kenny. Kenapa? Setiap aku ngasih catatan ke dia, pasti catatan itu tidak balik. Alhasil aku harus menulis ulang dari sahabat setiaku, Desi. Makanya aku kapok ngasih catatan ke dia.

"Araa!"

Aku kenal suara itu. Pasti Desi. Hanya dia satu-satunya murid yang memanggilku Ara di kelas.

"Hai, Des!" balasku saat sudah melihat sosok Desi. Desi nyengir-nyengir.

"Eh, Kenny," kata Desi sambil mengalihkan perhatiannya ke Kenny. "Tumben deket-deket Ara."

"Iya, dong. Kan mau pinjem catetan ke tape," ujar Kenny sambil kembali merangkulku. Aku memasang tampang sebal ke Kenny.

"Gak bakal kukasih. Setiap aku pinjemin catetan ke kamu, pasti ilang," ucapku.

"Yah, itu kan gak sengaja..."

"Masa? Jangan bohong mbak," kataku langsung. Lalu Desi menarikku.

"Ayo Ra, ke kelas. Abaikan aja si Kenny itu," kata Desi dan menarikku menjauh dari Kenny. Kenny hanya diam saja dan berjalan dengan santai ke teman yang sedang lewat. Entahlah siapa orang itu.

Aku dan Desi berjalan menuju kelas. Sampai di kelas, semua murid yang ada di kelas langsung berteriak, "HAI TAPEEEEEEE!"

Tetap sabar seperti biasa, Ara.

(bersambung)