Sunday, November 17, 2013

AraTAPE 3

Tidak seperti biasanya, saat pulang sekolah, aku mampir ke kafe dekat sekolah bersama Geni, teman belakang bangkuku yang menyebalkan itu loh.

"Ngapain kamu ngajak aku ke sini?" tanyaku bingung. Geni duduk di hadapanku.

"Gue mau ngomong sesuatu sama elo, Pe," jawab Geni. Aku mengangkat satu alis.

"Tentang?"

"Dengerin gue dulu."

Aku pun duduk dengan manis sambil menunggu Geni berbicara.

"Tape, lo putus sahabat dong sama Desi."

HAH?! Apa maksud dia sih? Kenapa tiba-tiba...?

"Kamu nyuruh aku putus sahabat sama Desi? Emangnya kamu siapanya kita berdua? Kenapa tiba-tiba ngatur kita? Emang apa masalah kamu sama kita?"

"Bukan gitu, Pe," ujar Geni. Dari raut wajahnya terlihat dia sedikit takut saat aku marah padanya.

"Terus gimana?" tanyaku.

"Yah, gini loh. Lo dengerin gue dulu. Jangan langsung tanya macem-macem. Gue belum selesai bicara," kata Geni.

Oke deh. Oke deh. Aku harus menyimpan amarahku untuk berikutnya jika Geni membuatku naik darah lagi.

"Gue dari dulu benci sama Desi sebenernya," jelas Geni. "Gue pengen banget kalo Desi keluar dari sekolah ini."

Aku mengangguk-angguk tanda paham.

Lalu, Geni melanjutkan, "dan, dari dulu juga, gue pengen banget sahabatan sama elo."

Aku diam saja mendengarnya. Tiba-tiba Geni menggenggam tanganku.

"Pe," katanya. "Mau jadi sahabat gue gak?"

Aku masih diam.

"Kalo lo mau jadi sahabat gue, lo harus putus sahabat sama Desi."

Aneh-aneh aja anak ini.

"Karena gue gasuka lo sahabatan sama Desi. Lo tau? Gue anti Desi."

Aku langsung berdiri dan berkata padanya, "denger, Gen. Aku gabakal pernah putus sahabat dengan Desi. Kalaupun aku punya sahabat baru, orang itu tetap akan menjadi sahabat Desi juga. Dan kamu gabisa maksa aku untuk putus sahabat dengan Desi dan bersahabat denganmu. Sori ya."

Aku langsung pergi meninggalkan Geni. Kenapa Geni kembali membuatku kesal hari ini?

Aku kembali ke sekolah untuk membeli minum di kantin. Seharusnya, sih, aku membeli minum di kafe tadi. Cuman, sudah keburu kesal dengan Geni, jadi lupa. Yah, sudah terlanjur ini. Mungkin minuman yang dijual di kantin sekolah lebih murah dibanding yang dijual di kafe.

Ternyata, Desi masih ada di sekolah. Setelah membeli minum di kantin, aku menghampiri Desi yang duduk di bangku taman sekolah.

"Hai Desi!" sapaku sambil ikut duduk di sampingnya.

Desi menoleh ke arahku dengan muka datar. "Ke mana aja kamu, Ra?"

"Hah? Maksudnya?" aku balik bertanya padanya.

"Aku nunggu kamu daritadi di sini."

HAH?! Maafkan aku, Desi...

"Oh, sori Des... tadi aku ke kafe deket sekolah itu. Aku gatau kalo...."

Tiba-tiba Desi tertawa terbahak-bahak. Sumpah, aku benar-benar tidak mengerti.

"Ya ampun, Ra! Kamu lucu banget sih," katanya. "Aku cuma bercandaaaaa."

Akhirnya aku ikut tertawa. Kenapa aku tidak berpikir daritadi? Desi itu bisa dibilang tidak pernah marah kepadaku. Kalaupun marah, tidak seperti tadi.

"Ya sudah, ayo pulang!" ajak Desi sambil menarik tanganku. Aku mengikutinya dan keluar sekolah. Kami menyetop angkot dan berhenti di depan komplek rumah kami. Rumah kami satu komplek, hanya saja beda blok. Akhirnya kami berpisah di dalam komplek.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment